Superadmin 13-12-2022 17:53
Masalah kewenangan Kejaksaan, KPK, dan BNN dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus yang diatur dalam RUU KUHP dan semoga tidak terdapat tafsir yang keliru ke depannya.
Meskipun sampai dengan tulisan ini terbit, RUU KUHP belum disahkan, namun Penulis masih optimis bahwa RUU KUHP sebagai manifestasi Indonesian Way pasti akan disahkan. Pada kesempatan kali ini, Penulis tidak akan membahas permasalahan norma-norma yang mengatur perbuatan yang dilarang dan dianggap krusial dalam RUU KUHP melainkan masalah kewenangan penyidikan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP.
Sebagaimana yang diketahui bahwa RUU KUHP merupakan hukum pidana materiil yang berbeda dengan hukum pidana formil. Meskipun sebagai hukum pidana materiil, namun RUU KUHP memiliki legitimasi dalam mengatur cara berhukum untuk mempertahankan berbagai norma yang diaturnya yang merupakan domain hukum pidana formil.
RUU KUHP mengatur beberapa tindak pidana khusus yang sebelumnya diatur di luar KUHP, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana pencucian uang. Pengaturan yang demikian, tentunya menimbulkan pertanyaan apakah lembaga yang melakukan penyidikan tindak pidana khusus tersebut, seperti Kejaksaan, KPK, dan BNN, tetap berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus yang diatur dalam RUU KUHP?
Bagi Kejaksaan sendiri, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan secara expressive verbis menyatakan “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Dalam penjelasannya, “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Meskipun dalam penjelasan norma tersebut hanya mengatur dua tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan, namun karena dalam penjelasan norma tersebut menggunakan nomenklatur “misalnya”, maka dapat diartikan Kejaksaan dapat menyidik tindak pidana di luar tindak pidana korupsi dan tindak pidana HAM berat sepanjang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Sayangnya, rumusan penjelasan tersebut masih dapat ditafsirkan secara restriktif, yakni Kejaksaan hanya berwenang menyidik tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tindak pidana HAM berat yang diatur dalam UU Pengadilan HAM, yang dengan demikian Kejaksaan tidak dapat menyidik tindak pidana korupsi dan tindak pidana HAM berat yang diatur dalam RUU KUHP.
Masalah kewenangan Kejaksaan, KPK, dan BNN dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus yang diatur dalam RUU KUHP dan semoga tidak terdapat tafsir yang keliru ke depannya.
Begitupun dengan KPK hanya dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana koprusi yakni tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi (vide Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 3 UU KPK).
BNN pun demikian, dalam UU Narkotika mengatur bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan undang-undang ini dibentuk BNN (vide Pasal 64 ayat (1) UU Narkotika). Apabila hal ini tidak diluruskan maka berpotensi menjadi bahan gugatan praperadilan, eksepsi, ataupun pledoi, yang tentunya menghambat proses penegakan hukum terhadap tindak pidana khusus tersebut yang dilakukan masing-masing lembaga tersebut. Oleh karena itu, Penulis merasa perlu untuk memperjelas hal tersebut.
Dalam Bab Tindak Pidana Khusus, Pasal 624 RUU KUHP mengatur “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang masing-masing”. Dari rumusan ini belum menjawab permasalahan legitimasi Kejaksaan, KPK, dan BNN untuk melakukan penyidikan tindak pidana khusus tersebut dikarenakan dalam undang-undang masing-masing mengatur secara restriktif hanya berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang diatur dalam UU Tipikor, UU Pengadilan HAM, UU Pemberantasan Korupsi, UU Narkotika, dan bukannya tindak pidana khusus yang diatur dalam RUU KUHP.
Untuk mencermati makna Pasal 624 RUU KUHP, mari melihat penjelasan pasal tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 628 RUU KUHP menjelaskan bahwa “yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum” misalnya, lembaga yang menyelenggarakan pemberantasan tindak pidana narkotika, selain menangani tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang mengenai narkotika, juga menangani tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang ini. Demikian juga lembaga yang menyelenggarakan pemberantasan tindak pidana korupsi, selain menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, juga menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Dari rumusan penjelasan Pasal 624 RUU KUHP ini maka dapat diartikan bahwa Kejaksaan dapat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi dan tindak pidana HAM berat yang diatur dalam UU Pengadilan HAM, juga dapat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana HAM berat yang diatur dalam RUU KUHP. Begitupun dengan BNN dan KPK, BNN dapat melakukan penyidikan tindak pidana narkotika yang diatur dalam UU Narkotika dan tindak pidana narkotika yang diatur dalam RUU KUHP. KPK dapat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Korupsi dan tindak pidana korupsi yang diatur dalam RUU KUHP. Hal tersebut pun juga berlaku terhadap tindak pidana pencucian uang.
Meskipun penegasan kewenangan Kejaksaan, KPK, dan BNN dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus yang diatur dalam RUU KUHP diatur dalam penjelasan pasal, namun ingat bahwa dalam Bagian I Umum pada Penjelasan Umum RUU KUHP menjelaskan bahwa “Penjelasan umum dan Penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini merupakan tafsir resmi atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh sehingga tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Untuk itu, penjelasan dalam Undang-Undang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pasal dalam batang tubuh yang mendeskripsikan maksud dan makna yang terkandung dalam pasal tersebut”.
In casu, penjelasan Pasal 624 RUU KUHP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pasal 624 RUU KUHP yang mendeskripsikan maksud dan makna yang terkandung dalam Pasal 624 RUU KUHP tersebut. Dengan demikian, jelas dan lengkaplah masalah kewenangan Kejaksaan, KPK, dan BNN dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus yang diatur dalam RUU KUHP dan semoga tidak terdapat tafsir yang keliru ke depannya.
*)Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., Jaksa pada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. |