• Telp. (021) 7203061 – 63
cover
KEPASTIAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (KAJIAN NORMATIF)

Superadmin    15-11-2022 14:38

Putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Putusan MK) dalam implementasinya terdapat beragam pandangan dan berbagai sikap dalam “penerapan” putusan MK. Problematikanya masih banyak Putusan MK yang belum ditindaklanjuti dalam bentuk regulasi, kemudian di dalam penerapannya menunjukkan bahwa putusan MK tersebut “tidak bersifat mengikat”, misalnya Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai pengertian unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) menyatakan pada pokoknya bahwa yang dimaksud unsur secara melawan hukum hanya bersifat melawan hukum dalam arti formil dan tidak termasuk melawan hukum dalam arti materiil. Dalam praktik sebagaimana beberapa  Putusan Mahkamah Agung dalam perkara korupsi (yurisprudensi),  pengertian unsur secara melawan hukum Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tetap dimaknai sebagai unsur melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil sebagaimana Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, sehingga “terkesan” Putusan MK tidak bersifat mengikat.

Permasalahan tersebut di atas menjadi menarik untuk dikaji secara normatif demi kepastian hukum keberadaan Putusan MK. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menguraikan “Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan keadilan dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Eksistensi dan efektivitas putusan MK tersebut, apabila dikaji secara normatif dengan memperhatikan Penjelasan pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Pasal I Angka 8 UU Nomor 8 Tahun 2011 juncto UU Nomor 7 Tahun 2020 menyatakan bahwa “Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”. Bersifat “final” dimaknai bahwa putusan MK adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut, sedangkan makna “kekuatan hukum mengikat” dalam UU a quo tidak dijelaskan pengertiannya sehingga menimbulkan multitafsir terkait frasa tersebut. Maruarar Siahaan (dalam Agus Maulidi, Journal Konstitusi) menerangkan “Sifat mengikat tidak hanya bagi pihak yang sedang berperkara di Mahkamah Konstitusi, namun juga mengikat bagi semua pihak (erga omnes)”.

Menurut hemat Penulis penafsiran sifat “kekuatan hukum mengikat” Putusan MK tidak ditujukan bagi semua pihak (erga omnes), namun ditujukan hanya pada lembaga yang diberikan kewenangan untuk menindaklanjuti Putusan MK yakni DPR atau Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali  dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Selain hal tersebut, MK berada dalam posisi sebagai lembaga yudikatif (melaksanakan kekuasaan kehakiman) bukan sebagai lembaga legislatif (lembaga yang berwenang membuat Undang-Undang). Karenanya, Putusan MK tidak dapat diterapkan sebagai hukum positif, posisi Putusan MK adalah sebagai sumber hukum dalam penyusunan UU.

Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur:

(1)   Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:

a.       Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.       Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c.       Pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d.       Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e.       Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyakarat.

(2)   Tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

 

Mahfud MD (dalam Agus Maulidi, Journal Konstitusi) “menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya agar tidak melampaui batas sehingga masuk ke ranah kekuasaan lain dan menjadi politis. Terdapat 10 (sepuluh) hal yang ditegaskan, yaitu Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan tidak boleh berisi pengaturan, termasuk cara, isi dan lembaga yang mengatur isi suatu undang-undang, karena hal tersebut menjadi domain lembaga legislatif, sehingga Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan bertentangan atau tidak dengan isi undang-undang dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak boleh membuat putusan yang sifatnya ultra petita, karena akan mencampuri kewenangan legislatif ...”.

Dengan adanya amar Putusan MK yang menyatakan “ayat atau pasal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan “ayat atau pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, maka perlu upaya “segera” menindaklanjuti Putusan tersebut.  Penulis menyadari tidak mudah untuk “segera” menindaklanjuti Putusan MK ke dalam suatu Undang-Undang karena akan membutuhkan banyak tahapan, proses dan waktu yang relatif lama, oleh karenanya untuk menjaga agar tidak terjadi “kekosongan hukum” atau pasal dalam Undang-Undang sudah tidak memadai lagi, saran Penulis sebaiknya Pemerintah (Presiden) menindaklanjuti Putusan MK dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).

Dasar hukum dibuatnya PERPU diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Kemudian Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mendudukkan PEPRU sejajar dengan Undang-Undang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU-VII/2009 pada  halaman 19:

“Menimbang bahwa dengan demikian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:

1.          Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2.          Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3.          Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”.  

Selanjutnya, bagaimana menyikapi Putusan MK yang belum dituangkan dalam norma Undang-Undang, hemat Penulis tetap menerapkan ketentuan pasal/ayat yang diujimateriilkan sebagaimana rumusan pasal/ayatnya namun substansi atau esensinya merujuk pada Putusan MK. Misalnya, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV2016, MK berpendapat pada pokoknya bahwa unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dimaknai sebagai kerugian yang nyata (actual loss) dan tidak termasuk pengertian perkiraan kerugian (potential loss). Oleh karena Putusan MK tersebut belum ditindaklanjuti oleh DPR/Presiden dan dituangkan ke dalam UU, maka implementasinya dalam praktik penanganan perkara korupsi agar tidak lagi menerapkan perkara yang kerugian keuangan negaranya bersifat potential loss.

Contoh berikutnya, Pasal 335 ayat (1) KUHP yang dikenal dengan pasal perbuatan yang tidak menyenangkan. MK dalam Putusan Nomor 1/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa  frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam pasal 335 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga ketentuan tersebut lengkapnya berbunyi “Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.  Rumusan pasal 335 ayat (1) KUHP sebagaimana Putusan MK belum ditindaklanjuti oleh Presiden/DPR ke dalam norma UU, maka substansi atau esensi Putusan MK tersebut diterapkan dalam penanganan perkara pidana yakni perbuatan tersangka/terdakwa harus dilakukan dengan pembuktian adanya unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” sebagai inti delik (bestanddelen) dan tidak lagi mengakomodir unsur “perlakuan yang tak menyenangkan” sebagai pemenuhan  unsur pasal tersebut.

Terkait penerapan rumusan pasal 335 ayat (1) tersebut, Penyidik maupun Penuntut Umum agar tetap menerapkan rumusan Pasal 335 ayat (1)  sebagaimana tertuang dalam KUHP dan tidak menerapkan rumusan Pasal 335 ayat (1) sebagaimana Putusan MK, karena bilamana menerapkan rumusan Pasal 335 ayat (1) sebagaimana Putusan MK maka hal ini menunjukkan bahwa Putusan MK telah digunakan dan dianggap sebagai  norma hukum positif, padahal MK merupakan lembaga yudikatif dan bukan lembaga legislatif. Secara fungsi, hanya DPR/Presiden yang berwenang untuk membuat dan memberlakukan suatu Undang-Undang dan mengenai pengaturan yang memuat ketentuan pidana hanya tercantum dalam UU, PERDA Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana Pasal 15 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:

a.       Undang-Undang;

b.      Peraturan Daerah Provinsi, atau

c.       Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Saran Penulis, demi kepastian hukum sebaiknya dalam setiap amar Putusan MK yang menyatakan suatu norma hukum positif bertentangan dengan UUD 1945 agar mencantumkan “kewajiban” Presiden/DPR untuk menindaklanjuti Putusan MK tersebut ke dalam suatu UU/PERPU sebagaimana amanah  Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Demikian kajian normatif terkait kepastian hukum putusan MK, semoga bermanfaat.

M. Irsan Arief adalah Praktisi Hukum dan Penulis Buku Hukum, pendapat dan pandangannya tidak mewakili institusi Penulis.

Referensi:

-     UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

-     UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

-     UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

-     UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU;

-     UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

-     UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

-     UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

-     Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

-     Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU-VII/2009;

-     Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV2016;

-     Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 1/PUU-XI/2013;

-     M. Agus Maulidi, Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi, Journal Konstitusi, Volume 16, Nomor 2, Juni 2019.


=